Senin, 21 Mei 2012

Imunostimulan Pedang Bermata Dua



Imunostimulan Pedang Bermata Dua
 
AGEN IMUNOMODULATOR MEMBERI HARAPAN BAGI BANYAK ORANG SAAT INI. NAMUN PENGGUNAANNYA HENDAKNYA TIDAK DISALAHGUNAKAN AGAR TAK MENJADI BOOMERANG BAGI KITA.

http://drdjebrut.files.wordpress.com/2012/01/aplastik-marrow.jpg
Tiga puluh tahun terakhir dunia farmasi diramaikan dengan kedatangan obat-obatan yang mensupresi sistem imun (immunosuppressan). Obat-obat tersebut berkembang seiring dengan maraknya operasi transplantasi dan meningkatnya insiden beberapa penyakit autoimun. Kini, meskipun masa-masa imunosupresan belum berlalu, dunia di-hadapkan dengan penyakit-penyakit yang mele-mahkan sistem imun. Contoh yang paling mudah diingat adalah keganasan dan AIDS. Kedua penyakit tersebut dapat menurunkan imunitas tubuh penderita hingga akhirnya menyebabkan kematian.

    Fakta tersebut memunculkan paradigma baru dalam dunia farmasi dan kedokteran. Sebenarnya, separuh abad yang lalu Freund’s & Mc Dermott telah menggunakan bahan biologi non sitokin sebagai imunomodulator dengan menyuntikkan emulsi mikobakterium O/W dengan suatu antigen secara subkutan yang dapat menghasilkan pe-ningkatan respons imun terhadap antigen. Kini penelitian terhadap obat-obat imunomodulator menjamur di berbagai belahan dunia. Awalnya, beberapa vitamin dipercaya sebagai penguat sistem imun. Kandungan yang diyakini sebagai penguat sistem imun antara lain Vitamin C, Vitamin B, dan Vitamin A.

    Pada dekade 1990-an, didapatkan fakta bahwa penguat sistem imun berbeda dengan agen imunostimulan. Penguat sistem imun adalah semua agen yang dapat mempertahankan tubuh dari serangan penyakit. Contoh penguat sistem imun yang cukup dikenal adalah Vitamin C. Pengertian itu berbeda dengan imunomodulator. Imuno-stimulan mengandung pengertian agen yang dapat menstimulasi peningkatan human T cell dan produksi interferon gamma. Definisi tersebut lebih spesifik jika dibandingkan dengan definisi penguat sistem imun.

    Dewasa ini, penggunaan imunostimulan pada terapi infeksi pada anak cukup dipertimbangkan, mengingat daya tahan tubuh anak terutama usia muda relatif belum baik dibandingkan dengan dewasa. Namun perlu diingat bahwa imunostimulan yang beredar di pasaran tetap merupakan obat. Artinya, pada kondisi sehat tidak secara alami terkandung dalam tubuh, untuk itu penggunaannya pun harus berhati-hati. Perlu diingat bahwa agen imunostulan bukan merupakan suplemen, sehingga tidak boleh dikonsumsi secara teratur pada kondisi tubuh yang sehat, demikian jelas salah satu pakar alergi immunologi kita, Dr. Zakiudin, Sp.A(K).

    Hendaknya klinisi tak terkecoh dengan jargon yang dibawakan oleh obat-obat ini yaitu paradigma sehat. Maksudnya, seseorang yang sehat perlu meminum obat untuk mempertahankan kondisi tubuhnya agar tidak menjadi sakit. Imunostimulan bekerja dengan memacu sistem imun tubuh, sedang sistem imun yang terus dipacu dapat mengalami kelelahan. Hal ini dapat mengakibatkan sistem imun tubuh tak dapat berfungsi optimal saat dibutuhkan, seperti kondisi infeksi. Selain itu terdapat beberapa laboran kejadian dimana pasien yang telah lama terkontrol penyakit alerginya, tercetus kembali setelah mengkonsumsi imunostimulan secara teratur.

    Imunostimulan, yang saat ini beredar terdiri atas dua golongan yaitu imunostimulan biologis dan sintetik. Contoh imunostimulan biologi antara lain hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, komponen dari mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur serta zat ekstrak dari tumbuhan. Imunostimulan sintetik antara lain levamisol, isoprinosin serta muramil peptidase.

    Dalam praktik seharí-hari, pemilihan imunostimulan untuk mencapai hasil yang diinginkan hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. Dapat memodifikasi mekanisme imun pejamu yang berbeda dengan antibiotika atau kemoterapi lain yang hanya berefek pada mikroorganisme penyebab penyakit.
  2. Mempunyai efek farmakologi dan klinik yang diharapkan dengan efek samping yang minimal.
  3. Bebas dari efek yang berbahaya seperti timbulnya autoimun serta limfoma seperti yang pernah dilaporkan akibat beberapa zat kemoterapi serta C parvum.
  4. Bebas dari efek sensitisasi disebabkan zat yang digunakan bersifat alergenik seperti BCG, C parvum atau levamisol yang mungkin dapat memberikan reaksi yang tidak diinginkan atau menginduksi terjadinya penyakit kompleks imun.
  5. Bebas dari efek inhibisi sistem imun pada pemberian jangka lama atau berulang.
  6. Harus ada data yang lengkap mengenai imunofarmakologi zat tersebut, sehingga dapat digunakan dengan indikasi tepat sesuai dengan keadaan klinis dan kondisi pasien.
  7. Untuk meneliti efektivitas imunostimulan ini, sebaiknya zat yang digunakan tidak mengandung endotoksin karena endotoksin sendiri bersifat sebagai imunostimulan.
    Penggunaan imunostimulan biologis terutama yang berasal dari bahan herbal dalam klinik masih diperdebatkan. Hal ini disebabkan karena dalam satu jenis ekstrak bahan herbal terkandung banyak sekali bahan aktif sehingga sulit untuk menentukan komponen mana yang benar-benar mempunyai efek sebagai imunostimulan.

    Selain itu belum banyak uji klinis dengan desain yang baik pada manusia mengenai efek farmakologi pada manusia zat-zat yang dianggap mempunyai efek merangsang sistem imán. Perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang baik diperlukan untuk mengetahui efektivitas pemberian imunostimulan sebagai terapi pencegahan penyakit infeksi atau penyakit akibat gangguan sistem imun yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

mohon maaf bila ada yng kurang berkenan >< m(_._)m

 
;