Senin, 21 Mei 2012

Peran Imunostimulator Pada Pertahanan Tubuh

Peran Imunostimulator Pada Pertahanan Tubuh


Imunomodulasi ialah suatu cara untuk mengembalikan dan memperbaiki sistim imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Obat-obat yang dapat mengembalikan ketidak seimbangan sistim imun disebut Imunomodulator. Obat yang dapat memperbaiki komponen yang satu sekaligus menekan komponen yang lain belumlah ditemukan.

Obat-obatan golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui :

- imunorestorasi
- imunostimulasi
- imunosupresi
Imunorestorasi dan Imunostimulasi disebut Imunopotensiasi atau Up Regulation, sedangkan Imunosupresi disebut Downr Regulation.
 Peran Imunostimulator Pada Pertahanan Tubuh      Akhir-akhir ini banyak berkembang tentang peran Imunostimulator dalam peningkatan mekanisme pertahanan tubuh apalagi pada pasien yang mengalami gangguan imunitas seperti pada penderita AIDS, Tuberkulosis, malnutrisi dan penyakit keganasan. Dalam pengobatan Tuberkulosis tentunya peran obat ini adalah sebagai tambahan disamping penggunaan obat anti Tuberkulosis. Fungsi Imunostimulator adalah untuk memperbaiki sistim imun berupa stimulasi pada pasien dengan defisiensi imun . Stimulasi sistem imun yang diinginkan dapat berupa respon imun yang spesifik atau untuk defisiensi imun secara umum yang dirangsang adalah respons imun yang non spesifik. Bila diperlukan penekanan sistem imun seperti pada alergi yang diperlukan adalah penekanan respons imun yang spesifik, sayangnya sebagian besar Imunomodulator tidak bekerja secara spesifik. Banyak para klinisi yang melupakan peran imunostimulator dalam melawan infeksi sejak era antibiotika berkembang sedemikian pesatnya sehingga antibiotika dianggap sebagai satu-satunya obat untuk melawan infeksi.  Ketika AIDS mulai dilaporkan pada tahun 1981 barulah disadari bahwa antibiotika paling ampuh sekalipun belum tentu dapat mengatasi infeksi jika sistem kekebalan tubuh lumpuh. AIDS dapat menyebabkan reaktifasi endogen M. Tuberkulosis. Perhatian terhadap peran sistem  imun dalam melawan infeksi kemudian meningkat kembali. Apalagi pada orang tua yang telah mengalami penurunan sistem imunnya maka diharapkan perbaikan dari sistem imun pasien akan mengakibatkan penurunan insidens dari penyakit infeksi dan keganasan.
      Berbagai jenis bahan telah digunakan sebagai Imunomodulator pada pengobatan penyakit infeksi, dari sitokin sampai zat-zat biologi seperti ekstrak Phyllanthus Nirruri ataupun Methisoprinol seperti pada penelitian Hug Fudenberg yang dapat meningkatkan respon imun baik secara invitro maupun penyelidikan invivoMekanisme modulasi sistem imun dapat langsung ke sel misalnya sel limfosit T, limfosit B atau sel makrofag.
Ada dua golongan imunostimulan yaitu imunostimulan biologi dan sintetik, contoh imunostimulan biologi antara lain:
- Limfokin
- Interferon
- Antibodi monoklonal
- Transfer Factor/ekstrak leukosit
- Bahan dari bakteri
- Bahan dari jamur.
- Phyllanthus Nirruri
Contoh imunostimulan sintetik antara lain :
- Levamisol
- Isoprinosin
- Muramil dipeptida ( MDP )
- Bahan-bahan lain yang masih dalam percobaan klinik, seperti :
  • Azimexon dan ciamexon
  • Bestatin
  • Tuftsin
  • Maleic anhydride dan divinyl ether copolymer
  • 6-phenyl pyrimidinole.
Amin Z menyatakan beberapa Imunomodulator yang sudah dilaporkan bermanfaat dalam perbaikan pengobatan Tuberkulosis antara lain:
- Interferon gamma
- Interleukin 2
- Pentoksifilin
- Thalidomid
- Clofazimin
- Micobacterium  Vaccae
- Vitamin A dan D
- Mikronutrien Zinc
- Ekstrak Phyllanthus Nirruri.

Agar Imunomodulator yang diberikan aman untuk pasien dia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain :

  1. Dapat memodifikasi mekanisme imun pejamu yang berbeda dengan antibiotik atau kemoterapi lain yang hanya berefek pada mikro organisme penyebab penyakit.
  2. Mempunyai efek samping minimal serta mempunyai efek farmakologi dan klinis yang diharapkan, bebas dari efek yang berbahaya seperti timbulnya reaksi autoimun.
  3. Bebas dari efek sensitisasi akibat zat yang digunakan bersifat alergenik seperti BCG, C. Parvum, atau levamisol yang mungkin dapat memberikan reaksi yang tidak diinginkan atau menginduksi terjadinya penyakit kompleks imun.
  4. Bebas dari efek inhibisi sistem imun pada pemberian jangka panjang atau berulang.
  5. Harus ada data yang lengkap mengenai imunofarmakologi zat tersebut, sehingga dapat digunakan dengan indikasi tepat sesuai dengan keadaan klinis dan kondisi pasien.
  6. Untuk meneliti sensitiviti imunostimulan ini sebaiknya zat yang digunakan tidak mengandung endotoksin karena endotoksin sendiri bersifat sebagai imunostimulan.
Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

mohon maaf bila ada yng kurang berkenan >< m(_._)m

 
;